Oleh : Risti Sifa’ Fadhillah

Gelar Guru Besar, atau yang juga dikenal dengan sebutan profesor, adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen di satuan pendidikan tinggi seperti universitas, institut, atau sekolah tinggi. Gelar ini melambangkan prestasi akademik yang luar biasa serta tanggung jawab besar dalam dunia pendidikan dan penelitian. Gelar Guru Besar adalah puncak pencapaian karier seorang akademisi, yang tidak hanya menandakan keahlian dan penguasaan ilmu di bidangnya, tetapi juga tanggung jawab besar dalam dunia pendidikan. Guru Besar diharapkan menjadi sosok teladan, tidak hanya bagi mahasiswa, tetapi juga bagi kolega, masyarakat, dan lembaga pendidikan tempatnya bernaung. Gelar ini menuntut lebih dari sekadar keunggulan akademik, melainkan juga kemampuan untuk memimpin dalam pengembangan ilmu dan menavigasikan tantangan global yang terus berkembang.

Selain itu, status Guru Besar yang sangat prestisius menjadikannya impian bagi setiap dosen. Jabatan ini bukan hanya membawa pengakuan di bidang akademik, tetapi juga membuka peluang yang lebih luas dalam hal kontribusi di tingkat nasional dan internasional, memperkuat jaringan akademik, dan meningkatkan posisi di dunia pendidikan. Sebagai simbol prestasi akademik tertinggi, gelar ini mengandung makna mendalam yang mencerminkan dedikasi, integritas, dan kemampuan untuk terus memberikan kontribusi signifikan bagi ilmu pengetahuan.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang dosen untuk menduduki jabatan Guru Besar. Di antaranya, seorang calon Guru Besar harus memiliki ijazah doktor (S3) atau yang sederajat sebagai bukti penguasaan keilmuan di bidangnya. Selain itu, pengalaman mengajar minimal 10 tahun juga menjadi syarat penting untuk menunjukkan kematangan dalam proses pendidikan dan bimbingan akademik. Tidak hanya itu, karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi menjadi indikator dari kontribusi signifikan dosen tersebut terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di kancah global. Proses ini menegaskan betapa ketat dan selektifnya jalur yang harus ditempuh untuk mencapai puncak karier akademik sebagai Guru Besar. Kualifikasi-kualifikasi ini bukan hanya sekadar formalitas, melainkan cerminan dari komitmen tinggi seorang dosen terhadap dunia akademik serta tanggung jawab besar yang menyertai gelar tersebut.

Untuk mencapai gelar guru besar, seorang dosen harus melewati beberapa tahapan penting dalam karier akademiknya, dimulai dari posisi asisten ahli, kemudian lektor, hingga akhirnya mencapai jenjang tertinggi sebagai guru besar. Setiap tahap memiliki persyaratan khusus yang harus dipenuhi, mencakup pengalaman mengajar, karya ilmiah, dan kontribusi dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kewajiban ini diatur dalam Pasal 1 Ayat 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Tri Dharma Perguruan Tinggi merupakan tujuan yang harus dicapai dan diterapkan dengan baik oleh seluruh civitas akademika di kampus.

Berdasarkan Sistem Informasi Sumberdaya Terintegrasi (SISTER) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), proses kenaikan jabatan ini dikelola secara terstruktur untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Asisten ahli adalah jabatan awal di PNS kelas jabatan 9, di mana dosen mulai berkontribusi di dunia akademik. Setelah itu, dosen naik menjadi lektor, pada PNS kelas jabatan 11, yang dituntut untuk lebih aktif dalam penelitian, publikasi, dan pengabdian masyarakat. Guru besar, sebagai puncak karier, berada di atas lektor kepala dan melambangkan pengalaman, penguasaan keilmuan, serta kontribusi akademik yang signifikan. Setiap kenaikan jabatan memerlukan pengajuan penilaian angka kredit melalui SISTER Kemdikbud, yang memastikan bahwa kualifikasi memenuhi persyaratan kumulatif dan persentase yang telah ditentukan.

Setelah memenuhi kualifikasi dan persyaratan yang ditentukan, seorang guru besar tidak hanya bertanggung jawab dalam bidang akademik, tetapi juga memiliki peran strategis dalam mengembangkan lingkungan pendidikan yang lebih luas. Sebagai puncak pencapaian dalam dunia akademik, guru besar dituntut untuk membimbing generasi muda serta mendorong kemajuan ilmu pengetahuan di tingkat lokal dan internasional. Namun, untuk menjalankan peran tersebut dengan efektif, tidak cukup hanya mengandalkan keahlian ilmiah. Guru besar juga perlu didukung oleh nilai-nilai yang kuat, seperti BerAKHLAK, yang menjadi landasan etis dalam setiap aspek pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Nilai-nilai ini memberikan arah bagi guru besar untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan integritas dan dedikasi.

Menurut istilah dalam bahasa Inggris, Tridarma Perguruan Tinggi dikenal sebagai “The Three Pillars: research, teaching, and service” (Cheng dkk, 2014), yang mencakup pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam menjalankan tugas tersebut, implementasi nilai-nilai BerAKHLAK menjadi sangat penting, khususnya bagi seorang Guru Besar. Dalam aspek pendidikan dan pengajaran, Guru Besar diharapkan berorientasi pada pelayanan dengan mengutamakan kualitas pengalaman belajar mahasiswa. Hal ini mencakup penyediaan waktu konsultasi yang cukup, perancangan kurikulum yang adaptif, serta penyampaian materi yang relevan dan mudah dipahami. Akuntabilitas juga menjadi hal yang mutlak, di mana setiap metode, materi, dan evaluasi yang diberikan harus dipertanggungjawabkan dengan transparansi, seperti menyediakan rubrik penilaian yang jelas dan menerima umpan balik dari mahasiswa secara terbuka. Selain itu, kompetensi merupakan fondasi utama, di mana Guru Besar perlu terus mengasah pengetahuan dan metode pengajaran sesuai perkembangan ilmu dan teknologi, serta menciptakan suasana kelas yang harmonis dengan mendorong interaksi sehat antara mahasiswa.

Di sisi lain, loyalitas dan adaptabilitas Guru Besar terhadap institusi pendidikan dan mahasiswa sangat berperan dalam mendukung kualitas pengajaran. Dedikasi terhadap pengajaran yang berkualitas dan komitmen jangka panjang dalam membina mahasiswa menunjukkan loyalitas yang tinggi. Sementara itu, kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan kurikulum dan teknologi pendidikan sangat diperlukan, seperti mengintegrasikan pembelajaran daring atau hybrid serta mengembangkan materi kuliah yang responsif terhadap isu-isu terkini. Selain itu, pengajaran yang kolaboratif melibatkan kerja sama dengan kolega dari berbagai disiplin ilmu, memperkaya wawasan mahasiswa, dan meningkatkan kualitas pembelajaran melalui proyek kolaboratif atau mengundang praktisi industri sebagai pembicara tamu. Dengan pendekatan ini, Guru Besar dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan inovatif.

Dalam aspek penelitian, seorang Guru Besar diharapkan tidak hanya berfokus pada pengembangan ilmu, tetapi juga pada kontribusi nyata terhadap masyarakat. Penelitian yang dihasilkan harus berdampak positif dan aplikatif, seperti penelitian di sektor kesehatan, pendidikan, atau lingkungan yang bermanfaat bagi kesejahteraan sosial. Selain itu, Guru Besar juga diharapkan memiliki akuntabilitas tinggi dalam menjalankan setiap tahap penelitian, mulai dari pengumpulan data hingga publikasi hasil. Transparansi dan tanggung jawab menjadi prinsip utama dalam menyusun laporan penelitian, serta menjaga integritas dalam seluruh prosesnya.

Kompetensi Guru Besar dalam penelitian menjadi fondasi untuk menghasilkan penelitian berkualitas tinggi. Kolaborasi yang harmonis dengan berbagai pihak, baik dengan rekan sejawat, mahasiswa, maupun mitra eksternal, juga sangat penting untuk memperkuat kerja sama tim dan membangun atmosfer kerja yang inklusif. Loyalitas terhadap misi pengembangan ilmu dan dedikasi dalam penelitian jangka panjang, meskipun menghadapi tantangan, menunjukkan komitmen mereka. Dalam lingkungan yang terus berkembang, kemampuan beradaptasi dengan teknologi baru dan kebutuhan sosial menjadi krusial, begitu juga dengan kolaborasi lintas institusi, baik nasional maupun internasional, untuk memperluas cakupan dan dampak penelitian.

Aspek terakhir Tridarma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian masyarakat, di mana Guru Besar diharapkan aktif berkontribusi secara nyata dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Program pengabdian yang dilakukan harus difokuskan pada penyelesaian masalah sosial, seperti pemberdayaan komunitas lokal atau peningkatan kesehatan masyarakat. Akuntabilitas merupakan elemen penting, di mana Guru Besar bertanggung jawab dalam memonitor dan mengevaluasi setiap hasil dari kegiatan yang dilaksanakan. Selain itu, pengabdian yang sesuai dengan kompetensi keahlian mereka memastikan bahwa program yang dirancang tepat sasaran dan efektif, contohnya melalui pelatihan atau penyuluhan di bidang kesehatan atau teknologi.

Selain itu, pengabdian masyarakat menuntut adanya hubungan yang harmonis dengan masyarakat lokal, di mana Guru Besar harus memahami kebutuhan mereka dan melibatkan mereka dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program. Loyalitas terhadap komitmen sosial dan adaptivitas dalam menyesuaikan program dengan perubahan kebutuhan masyarakat juga menjadi aspek penting dalam menjalankan kegiatan pengabdian yang berkelanjutan. Kesuksesan program pengabdian sering kali bergantung pada kolaborasi dengan berbagai pihak, seperti pemerintah, organisasi nonpemerintah, dan sektor swasta, untuk menciptakan dampak yang lebih luas dan berkelanjutan bagi masyarakat.

Gelar Guru Besar lebih dari sekadar posisi akademik tertinggi; ia juga melambangkan tanggung jawab moral dan etika yang harus dijunjung tinggi. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa peran Guru Besar tidak hanya terbatas pada pengajaran dan penelitian, tetapi juga mencakup pengabdian kepada masyarakat. Oleh karena itu, integrasi nilai-nilai BerAKHLAK menjadi sangat penting dalam menjalankan peran tersebut.

Nilai-nilai BerAKHLAK harus menjadi landasan bagi semua aspek tugas Guru Besar dalam melaksanakan Tridarma Perguruan Tinggi. Dengan demikian, mereka tidak hanya diharapkan mengedepankan kualitas akademik, tetapi juga berkontribusi secara positif terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Melalui penerapan nilai-nilai ini, Guru Besar dapat memberikan teladan yang baik dan memengaruhi generasi berikutnya untuk juga menjunjung tinggi moral dan etika dalam setiap tindakan mereka.

Referensi:

Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia. (2005). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Details/40266/uu-no-14-tahun-2005 pada tanggal 9 Oktober 2024.

Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia. (2012). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Details/39063/uu-no-12-tahun-2012 pada tanggal 9 Oktober 2024.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2024). Pusat informasi kenaikan jabatan dosen: Sistem Informasi Sumber Daya Terintegrasi (SISTER). Diakses dari https://sister.kemdikbud.go.id/pusat_informasi/list?category=11 pada tanggal 9 Oktober 2024. Cheng, S., Jacob, W., & Yang, S. (2014). Reflections from the Social Science Citation Index (SSCI) and Its Influence On Education Research in Taiwan., 97-107. https://doi.org/10.1007/978-94-6209-407-9_6.









































Cheng,
S., Jacob, W., & Yang, S. (2014). Reflections from the Social Science
Citation Index (SSCI) and Its Influence On Education Research in Taiwan.,
97-107. 
https://doi.org/10.1007/978-94-6209-407-9_6.